Wednesday, May 11, 2011

Left Hand

When I was 4 years, Tunas Harapan Kinggarden

“Karin sayang, kenapa nulisnya pake tangan kiri?” Bu Nina menghampiriku yang duduk di barisan belakang kelas.

“Memangnya kenapa Bu?” tanyaku polos.

“Gak bagus. Itu namanya gak sopan,” katanya sambil memindahkan pensil di tangan kiriku ke tangan kanan.

“Lho! Bukannya sama aja, tangan kanan ama tangan kiri?” mataku membulat penasaran.

Bu Nina hanya tersenyum manis dan meninggalkanku. Beralih ke anak yang lainnya.

When I was 7 years, Pertiwi Elementary School

“Karin kidal ya?” tanya Bu Rita, guru kelas 2.

“Iya Bu,” jawabku sambil menatapnya yang kini berdiri di samping meja ku. “Emangnya kenapa?”

“Kan harusnya tangan kanan,” jawabnya sambil tersenyum.

“Tapi tangan kanan kan kasian,” jawabku lagi.

“Lho, emang tangan kanannya kenapa?”

“Kan tangan kanan udah capek. Karin kalo makan pake tangan kanan, bawa botol minum pake tangan kanan, bantuin bawain belanjaan mama pake tangan kanan, maen bekel juga tangan kanan. Karin kasian, jadi biar tangan kanan gak capek lagi, Karin nulisnya pake tangan kiri. Biar tangan kirinya gak manja,” jawabku dengan panjang lebar.

“Tapi itukan udah tugasnya tangan kanan,” Bu Rita menjawab sambil tersenyum dan menukar letak pensilku ke tangan kanan dan pergi ke mejanya lagi.

Aku menatap langkahnya dengan kepala miring, bingung…


When I was 10 years, Pertiwi Elementary School

“Ka, kamu kidal?” tanya Mery teman sebangku di kelas 5 pada hari pertama sekolah.

“Iya, kenapa? tanyaku sambil terus mencatat daftar pelajaran yang ditulis Rana di papan tulis.

“Gak siy, nanya doang! Susah gak?”tanyanya lagi.

“Gak. Biasa aja, kayak kamu nulis pake tangan kanan,” jawabku sambil menoleh dan tersenyum padanya.

Mery langsung memindahkan pulpen pinknya ke tangan kiri dan mulai menulis. Aku melirik hasilnya, hancur! Sambil menahan senyum aku terus menulis.

“Aneh,” gumam Mery pelan.

Tapi aku mendengarnya.

When I was 12, Ahmad Yani Junior High School

“sol mi fa sol sol mi, do doo si do la sol mi….,” Pak Rudy membacakan not lagu Mengheningkan Cipta sambil mengetukkan penggaris di meja.

Dengan nafas yang udah susah payah, pelajaran Seni Musik udah berlangsung 1 jam lebih, kami mencoba meniup Recorder dengan baik dan benar menurut definisi Pak Rudy. Ini mulut udah berasa maju 5 cm dan kaki tambah gede karena berdiri terus.

“Di Baris yang kedua, do nya pendek aja, 2 ketuk. Kalian kepanjangan,” Pak Rudy menjelaskan sambil mengelilingi kelas.

Dan beliau berhenti di mejaku.

“Karin, kenapa tangan kanan yang di atas? Harusnya yang kiri,” kata Pak Rudy sambil memukul pelan tanganku.

“Saya gak bisa pak!” jawabku sambil tetap memertahankan posisi tangan yang sebelumnya.

“Harus bisa!” Pak Rudy memukul tanganku lagi. Kali ini lebih keras.

“Tapi nanti saya maennya jadi kacau”

“Pokoknya harus!” dan Pak Rudy meninggalkanku.

Alhasil, pelajaran Seni Musik hari ini ditambah 1 jam akibat aku yang berubah posisi tangan dan menyebabkan mainku jelek dan memberikan efek jelek itu ke satu kelas. Efek lainnya, sepanjang sisa sekolah hari ini aku mendapat pandangan sinis anak-anak sekelas.

When I was 15, Matauli High School

“Rin, biasanya anak kidal itu pinter lho! Tapi koq kamu gak ya?” Digo menggodaku yang sedang mengerjakan soal Matematika jam istirahat pertama di kelas.

“Apa siy?’ sahutku mengacuhkannya.

“Tapi koq kamu gak ya! Malah Fisikanya bego banget. Haha,” katanya sambil tertawa bahagia.

Aku hanya meliriknya sekilas dengan ujung mata dan kembali menekuni soal Matematika di hadapanku.

“Atau sebenarnya kamu kidal cuma buat gaya-gayaan doang? Biar dibilang pinter?”

BRAK! Aku memukul meja dan mendorong dengan kasar, mengenai perut Digo yang berdiri di depannya.

“YAH! MAU AKU KIDAL, PINTER, BEGO, ATAU GAK ITU TERSERAH AKU! GAK ADA URUSANNYA AMA KAMU! URUSIN AJA DIRI SENDIRI, PENDEK!” sahutku mengatakan ‘pendek’ dengan perlahan, menatapnya dengan pandangan meremehkan dan pergi meninggalkan kelas itu diiringi tatapan anak-anak sekelas yang nongkrong di kelas.

Di depan kolan renang…

Emang kenapa siy dengan menjadi orang kidal? Kayaknya biasa aja deh. Yang berdeda hanya kenyataan bahwa aku melakukan segala hal terbalik dengan yang kebanyakan dilakukan orang. Ketika orang lain nulis dengan tangan kanan, aku tangan kiri. Ketika yang lain maen recorder dengan tangan kiri di atas, aku menggunakan tangan kanan. Tokh gak semua hal aku lakuin dengan kidal. Aku masih makan dengan tangan kanan, masih maen gitar dengan tangan kanan yang menggenjreng.

Salah ya? Aku merasa lebih nyaman dengan tangan kiri?

Tuhan juga menciptakan 2 tangan untuk digunakan keduanya, bukan hanya tangan kanan. Tangan kiri bukan hanya untuk menolong tangan kanan saat keduanya harus bekerja sama mengangkat barang yang berat, tangan kiri juga harus bisa bekerja sendiri seperti halnya tangan kanan

Masa tangan kiri mau di manja terus? Kasian tangan kanan dong! Tuh kan, alasan zaman anak-anakku keluar.

Pernah mikir gak siy, tangan kanan itu kasian, kecape’an dan iri ama tangan kiri.

Dan orang-orang dewasa yang sejak dulu berusaha mengembalikanku ke tangan kanan, aku gak ngerti dengan mereka. Alasanya selalu kesopanan, bahwa nulis itu tugasnya tangan kanan.

Heh?

Memangnya ada buku pedoman yang mengatakan menulis dengan tangan kanan akan lebih baik, lebih indah, dan lebih bagus daripada tangan kiri? Give me that book!

Argghh!!!!

Now…

Seseorang mengetuk pintu di tengah-tengah pelajaran Matematika. Siapa pun dia, sepertnya dia gak tau aturan Kak Nora, tentor Matematika yang tidak mengijinkan siapapun telat di kelasnya. Satu-satunya tentor di bimbingan belajar ini yang bisa menerapkan peraturan seperti itu, karena dia pemiliknya.

Beberapa saat kemudian, sebuah kepala nongol dari balik pintu. Menghadirkan sesosok kepala cowok dengan senyuman di bibirnya dan, oh my god sun, dia punya smiling eye!

“Maaf saya telat! Tadi ada kelas tambahan di sekolah. Dan, saya baru disini,” katanya menjelaskan setelah dipersilahkan masuk oleh Kak Nora.

Kak Nora hanya terdiam dan mengangguk, sepertinya terpesona dengan senyum tadi. Dia hanya menatap cowok itu takjub, seperti yang dilakukan hampir semua cewek di ruangan ini.

“Jadi…,” tanyanya sambil menatap Kak Nora.

“Oh iya! Silahkan duduk dimanapun. Dan lain kali jangan telat, saya tidak mentolerirnya,” sahut Kak nora mencoba tegas untuk mengembalikan wibawanya.

Cowok itu mengangguk dan mulai berjalan kearah tempat duduk. Dia hampir duduk bersama Yoga, sebelum akhirnya melihatku yang sedang menulis (ok, aku melirik sedikit padanya) dan duduk di sebelahku.

“Kosong?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk.

Dia duduk dan mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Sebelum menulis, dia melihatku lagi.

“Kamu kidal?”

Oh no! Dari semua pertanyaan yang ada, kenapa harus itu yang ditanyakan. Bye bye smiling eye..

Aku menoleh dan tersenyum, “Ya,” jawabku malas dan kembali menulis.

Dia mengangguk dan mulai menulis. Aku melirik lagi. Wait! Dia kidal juga? Atau gaya-gayaan doang? Tanya gak ya?

“Ehm, kamu kidal juga?” tanyaku akhirnya.

Dia tertawa kecil sebelum menjawab “Unfortunately, yes I’m! Makanya aku duduk disini, males dengan tatapan ataupun pertanyaan orang tentang hal itu”

“Haha. Me too. Dengan alasan yang sama, makanya aku duduk disini sendiri. Abad ke 21 dan orang masih mempermasalahkan tentang being left-hand”

Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Aku akan kembali melanjutkan menulis saat melihat sebuah tangan tersodor ke arahku.

“By the way, Ricky”

Aku tersenyum melihat tangan yang tersodor adalah tangan kiri dan menyambutnya “Karin”

- The End -

No comments:

Post a Comment